Memahami
batasan halal haram dalam harta adalah keniscayaan. Terlebih di zaman
sekarang, saat yang halal bercampur yang haram; dan karena harta
merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Semua
menyadari betapa pentingnya usaha yang halal dan harta halal bagi
setiap Muslim. Terlebih di zaman sekarang, saat harta haram berserakan.
Padahal usaha haram bisa menjadi penghalang terhalangnya kebaikan dan
keberkahan harta.
Penyebaran
usaha haram yang demikian cepat membuat orang tidak peduli lagi harta
miliknya; dari mana didapat dan bagaimana cara memperolehnya. Realita
ini sangat persis seperti dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya: ”Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika
itu) seorang tidak lagi peduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari
yang halal atau haram?!” (HR. Bukhâri 2059)
Keadaan
tersebut diperparah kondisi masyarakat yang buta aturan halal-haram
dalam mencari harta. Karena itulah, mengkaji masalah halal-haram
merupakan keharusan bagi setiap Muslim.
Nikmat yang Harus Dikendalikan
Harta
adalah salah satu nikmat Allah Ta’ala yang dianugerahkan kepada
hamba-Nya di dunia ini. Harta menjadi sarana seorang Muslim menikmati
manfaat dan perhiasan dunia. Sekaligus menjadi sarana mencapai keridhaan
Allah Ta’ala. Allah ingatkan dalam firman-Nya, yang artinya,
”Harta
dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta
lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Syariat
tidak melarang kaum Muslimin memiliki harta. Hanya saja syariat memberi
aturan agar harta ini tidak digunakan tanpa terkendali.
Syariat
Islam memandang harta sebagai satu di antara lima hal yang wajib dijaga
dan diperhatikan (adh-Dharuriyat al-Khams). Syariat menghukum keras
kepada siapa saja yang mengambil harta orang lain dengan cara batil.
Bahkan sampai menetapkan hukuman potong tangan untuk kasus pencurian
dengan batasan tertentu. Semua ini sebagai upaya syariat dalam menjaga
harta dan melindunginya dari segala bentuk ganguan.
Kemudian
dalam beberapa ayat, Allah memuji harta. Karena harta menjadi sebab
tercapainya maslahat dunia dan agama. Allah menyebut harta dengan
sebutan al-Khair (kebaikan) yang menjadi pokok kehidupan. Allah
berfirman, yang artinya, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik.” (QS. An-Nisa: 5)
Harta
pada hakikatnya milik Allah Ta’ala, dan manusia hanya memilikinya
sebagai amanah Allah. Posisi manusia sebagai pihak yang diberi amanah
selayaknya menggunakan harta untuk kepentingan mencapai kebahagian dunia
dan akhiratnya. Allah titipkan harta kepadanya untuk melihat apa yang
akan diperbuat dengan harta tersebut. Dari mana dia dapatkan dan untuk
apa dia gunakan.
Allah Ta’ala memberikan
hak kepemilikan harta pada manusia. Hak tersebut diakui, dihormati dan
dijaga oleh syariat, selama dalam mendapatkannya, komitmen terhadap
kaidah syariat dan hukum-hukumnya yang mengatur hak tersebut. Dengan
demikian, Allah tidaklah membiarkan manusia memiliki harta atau
mengeluarkannya tanpa aturan dan undang-undang.
Penentuan
halal dan haram dalam Islam ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat,
dan bukan hasil logika manusia. Masalah hukum terhadap harta tidak
dikembalikan kepada akal manusia, tapi diserahkan kepada hukum Allah.
Karena keterlibatan logika manusia tidak akan lepas dari hawa nafsunya.
Karena itu, wajar saja jika manusia semena-mena menggunakannya untuk
memuaskan hawa nafsu dan syahwatnya.
Syariat Mengatur Harta
Syariat
menetapkan aturan masalah harta, sehingga setiap orang yang
mengamalkannya akan menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Aturan syariat
tidaklah membatasi kebebasan individu beraktivitas terhadap harta.
Syariat Islam memberi aturan untuk menjaga hak individu dan hak
masyarakat pada harta, sehingga memiliki keistimewaan yang tidak ada
dalam aturan lainnya.
Aturan dan ketentuan syariat Islam terhadap harta dinyatakan dalam beberapa hal berikut ini:
1.
Mengatur cara mencari harta, cara mengembangkannya dan mengeluarkannya
(pemakaian). Dalam mendapatkan harta, Allah menetapkan dua sarana: yang
diperbolehkan dan yang dilarang. Manusia hanya diminta melaksanakan
sarana yang diperbolehkan dalam mencari harta.
2.
Menunaikan hak-hak wajib pada harta. Baik yang kembali kepada pemilik
atau orang lain. Hak harta yang berhubungan dengan pemilik, misalnya,
digunakan untuk memenuhi kebutuhannya, secara wajar, tidak berlebihan
dan tidak kikir. Seperti dijelaskan dalam firman Allah, yang artinya,
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal.” (QS. Al-Isra: 29)
Hak harta yang berhubungan dengan orang lain mencakup semua yang diwajibkan syariat pada harta yang penerimanya orang lain, seperti zakat, sedekah, infak kepada keluarga dan anak-anak dan hak-hak lain yang diwajibkan syariat.
Hak harta yang berhubungan dengan orang lain mencakup semua yang diwajibkan syariat pada harta yang penerimanya orang lain, seperti zakat, sedekah, infak kepada keluarga dan anak-anak dan hak-hak lain yang diwajibkan syariat.
3.
Menetapkan doktrin bahwa pemilik harta yang sejatinya adalah Allah dan
manusia hanya diberikan hak guna harta untuk membantu mewujudkan
kemaslahatan individu dan umat.
4.
Syariat Islam memandang zat harta tidak bisa berkembang sendiri. Harta
hanya berkembang dengan usaha, dan pengelolaan dalam proyek yang
diperbolehkan syariat. Karena itulah syariat mengharamkan riba, judi,
dan turunannya.
5.
Islam mengajarkan agar harta dijadikan alat untuk dikembangkan dan
bukan untuk disimpan. Karena Allah menciptakan harta untuk diputar,
berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, dan tidak hanya
mengendap di satu tangan orang kaya. Allah tegaskan hal ini dalam
Al-Quran, yang artinya, ”Harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Harta
selayaknya digunakan untuk memutar roda ekonomi dan membuka peluang
usaha, untuk mengembangkan SDM masyarakat. Penimbunan harta sama dengan
melumpuhkan fungsi harta dan tertahan di tangan orang kaya saja.
Namun
sungguh disayangkan. Sebagian besar kaum Muslimin justru lebih suka
menyimpan harta dan kekayaan di bank. Terutama di bank yang bermarkas di
Amerika dan Eropa. Tak heran, akibat penimbunan ini, merebak
pengangguran di negara-negara Islam dan berkurangnya proyek-proyek
produktif. Karena modal mereka lari ke negara lain.
Di
lain pihak, negara-negara yang menyimpan kekayaan tersebut,
menggunakannya untuk mempercepat perputaran roda ekonomi mereka,
sehingga perekonomian mereka bangkit dan berkembang pesat. Hal ini tentu
saja meningkatkan penghasilan individu dan mengurangi pengangguran
masyarakat mereka. Bahkan tidak dipungkiri, modal yang mereka tanam di
bank negara kafir itu bisa jadi digunakan untuk membuat pesawat, mobil,
senjata perang dan lain-lainnya.
Karena
itulah Islam memerangi penimbunan harta dan mengajak kaum Muslimin
mengembangkan dan mengelolanya. Sebagai contoh, tuntunan mudharabah
adalah satu sarana menghilangkan penimbunan harta. Pemilik modal
memberikan hartanya untuk dikembangkan oleh pengelola, untuk selanjutnya
dilakukan bagi hasil terhadap segala bentuk risiko.
6.
Menanamkan komitmen pada hukum sebagai asas pondasi. Karena pondasi
yang kuat dan lurus, akan membuat bangunan bisa kuat dan tinggi, dan
sebaliknya, jika asas pondasinya lemah dang tidak lurus maka akan mudah
hancur dan runtuh.
Umat tidak Lepas dari Pelanggaran
Syariat
memberikan aturan keras dalam masalah harta haram. Menutup semua celah
terwujudnya riba, judi, perdagangan barang haram dan membatalkan
transaksi haram yang melanggar syariat. Namun realitanya kaum Muslimin
terjerumus dalam pelanggaran dan usaha yang haram. Berbeda-beda antara
satu zaman dan zaman lainnya. Harta haram yang semakin merata di zaman
ini tidak bisa diingkari. Riba sudah menjadi aktivitas umum di hampir
seluruh belahan dunia, baik di negara Islam maupun kafir. Tidak heran
jika harta halal mulai banyak bercampur dengan yang haram. Sampai pada
akhirnya menentukan yang halal dan haram menjadi sulit. Kondisi ini
menuntut setiap Muslim untuk lebih berhati-hati dan berusaha membekali
diri dengan ilmu tentang hukum halal-haram.
Beberapa Definisi Harta Haram
Sebagian
besar kaum Muslimin yang belum memahami secara baik apa itu harta
haram. Padahal para ulama menjelaskan definisi harta haram dalam
beberapa definisi. Di antaranya:
*Harta haram adalah semua yang ada padanya sifat haram.
*Harta haram adalah semua yang diharamkan syariat pemanfaatan dari semua sisi.
*Harta
haram adalah semua yang tidak halal pemanfaatannya untuk pemiliknya
karena adanya nash shahih dan jelas tentang pengharamannya atau adanya
larangan secara tegas atau adanya balasan siksa bagi penggunanya.
Dengan
demikian jelaslah bahwa harta haram adalah semua yang diharamkan
syariat kepemilikan dan pemanfaatannya atas seorang muslim karena adanya
larangan berupa sifat haram.
Pembagian Harta Haram
Para ulama membagi harta haram menjadi dua:
Pertama, harta
haram zatnya yaitu harta haram pada asal dan sifatnya. Ini menyangkut
semua yang diharamkan syariat dengan sebab tertentu pada zatnya, tidak
terpisah dalam segala keadaan, seperti minuman keras, babi, bangkai dan
lain-lainnya.
Allah
berfirman, yang artinya: ”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi
nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan.” (QS. Al-Maidah:3)
Ayat
tersebut bukanlah pembatasan hal-hal yang diharamkan. Namun semua yang
membahayakan manusia dianalogikan dengannya, seperti narkotika dan
berbagai jenis rokok yang sudah dipastikan membahayakan manusia.
Kedua, harta
haram karena sebab luar, sering disebut dengan haram dengan sebab
tertentu (al-Muharram Bi sababihi) atau harta haram karena cara
mendapatkannya (al-Haraam li Kasbihi).
Harta
ini diharamkan karena sifatnya dan bukan asal zatnya. Karena sebab
pengharamannya bukan pada zat dan hakikatnya, tapi dari luar yang
terpisah dari zat harta tersebut. Harta ini diharamkan karena sebab luar
yang mempengaruhi sifatnya dan tidak mempengaruhi zat dan hakikatnya
seperti harta riba.
Harta
riba tidak diharamkan zatnya tapi diharamkan pada sifatnya. Zat
hartanya halal, namun menjadi haram atas orang yang mendapatkannya
melalui transaksi riba. Karena sebab pengharaman pada sifat harta ini
dan bukan pada asal zatnya, maka harta tersebut secara zatnya tidak
tercela bahkan seharusnya tetap terpuji.
Dari
sini jelaslah perbedaan antara harta haram karena zatnya dan harta
haram karena usaha dan cara mendapatkannya. Allahu a’lam. (PM)
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar:
Posting Komentar