Kamis, 03 Desember 2015

Jangan Makan atau Minum Sambil Berdiri

Dalam masalah ini, sebagian orang bersikap terlalu keras. Demikian sikap kami pula di masa silam. Namun setelah mengkaji dan melihat serta menimbang dalil ternyata dapat disimpulkan bahwa minum dan makan sambil berdiri sah-sah saja, artinya boleh. Karena dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri dan keadaan lain sambil duduk. Intinya, ada kelonggaran dalam hal ini. Tetapi afdholnya dan lebih selamat adalah sambil duduk. Kami awali pembahasan ini dengan melihat beberapa dalil yang menyebutkan larangan makan dan minum sambil berdiri, setelah itu dalil yang menyebutkan bolehnya. Lalu kita akan melihat bagaimana sikap para ulama dalam memandang dalil-dalil tersebut.
Dalil Larangan
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri.” (HR. Muslim no. 2024).
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu pula, ia berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau melarang seseorang minum sambil berdiri.” Qotadah berkata bahwa mereka kala itu bertanya (pada Anas), “Bagaimana dengan makan (sambil berdiri)?” Anas menjawab, “Itu lebih parah dan lebih jelek.” (HR. Muslim no. 2024). Para ulama menjelaskan, dikatakan makan dengan berdiri lebih jelek karena makan itu membutuhkan waktu yang lebih lama daripada minum.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِىَ فَلْيَسْتَقِئْ
Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” (HR. Muslim no. 2026)
Dalil Pembolehan
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,
سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا
Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَمْشِى وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ
Kami dahulu pernah makan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi no. 1880 dan Ibnu Majah no. 3301. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dalil ini bahkan menyatakan makan sambil berjalan.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا
Aku pernah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- minum sambil berdiri, begitu pula pernah dalam keadaan duduk.” (HR. Tirmidzi no. 1883 dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih)
Menyikapi Dalil
Al Maziri rahimahullah berkata,
قَالَ الْمَازِرِيّ : اِخْتَلَفَ النَّاس فِي هَذَا ، فَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى الْجَوَاز ، وَكَرِهَهُ قَوْم
“Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh (makan dan minum sambil berdiri). Sebagian lainnya menyatakan makruh (terlarang).” (Lihat Fathul Bari, 10: 82)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
بَلْ الصَّوَاب أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى التَّنْزِيه ، وَشُرْبه قَائِمًا لِبَيَانِ الْجَوَاز ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخًا أَوْ غَيْره فَقَدْ غَلِطَ ، فَإِنَّ النَّسْخ لَا يُصَار إِلَيْهِ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَفِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَيَانِ الْجَوَاز لَا يَكُون فِي حَقّه مَكْرُوهًا أَصْلًا ، فَإِنَّهُ كَانَ يَفْعَل الشَّيْء لِلْبَيَانِ مَرَّة أَوْ مَرَّات ، وَيُوَاظِب عَلَى الْأَفْضَل ، وَالْأَمْر بِالِاسْتِقَاءَةِ مَحْمُول عَلَى الِاسْتِحْبَاب ، فَيُسْتَحَبّ لِمَنْ شَرِبَ قَائِمًا أَنْ يَسْتَقِيء لِهَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح ، فَإِنَّ الْأَمْر إِذَا تَعَذَّرَ حَمْله عَلَى الْوُجُوب حُمِلَ عَلَى الِاسْتِحْبَاب
“Yang tepat adalah larangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenai minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menyatakan beliau minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun yang mengklaim bahwa adanya naskh (penghapusan hukum) atau semacamnya, maka itu keliru. Tidak perlu kita beralih ke naskh (penggabungan dalil) ketika masih memungkinkan untuk menggabungkan dalil yang ada meskipun telah adanya tarikh (diketahui dalil yang dahulu dan belakangan). Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya karena tidak mungkin kita katakan beliau melakukan yang makruh. Beliau kadang melakukan sesuatu sekali atau berulang kali dalam rangka untuk menjelaskan (suatu hukum). Dan kadang beliau merutinkan sesuatu untuk menunjukkan afdholiyah (sesuatu yang lebih utama). Sedangkan dalil yang memerintahkan untuk memuntahkan ketika seseorang minum sambil berdiri menunjukkan perintah istihbab (sunnah, bukan wajib). Artinya, disunnahkan bagi yang minum sambil berdiri untuk memuntahkan yang diminum berdasarkan penunjukkan tegas dari hadits yang shahih ini. Karena jika sesuatu tidak mampu dibawa ke makna wajib, maka dibawa ke makna istihbab (sunnah).”(Fathul Bari, 10: 82)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan,
وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، فَلَا إِشْكَال وَلَا تَعَارُض
“Yang tepat dalam masalah ini, larangan minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih (bukan haram). Adapun hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri, itu menunjukkan bolehnya. Sehingga tidak ada kerancuan dan pertentangan sama sekali antara dalil-dalil yang ada.” (Syarh Muslim, 13: 195)
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata,
وَقَدْ أَشْكَلَ عَلَى بَعْضهمْ وَجْه التَّوْفِيق بَيْن هَذِهِ الْأَحَادِيث وَأَوَّلُوا فِيهَا بِمَا لَا جَدْوَى فِي نَقْله ، وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه ، وَأَمَّا شُرْبه قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ النَّسْخ أَوْ الضَّعْف فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا . وَكَيْف يُصَار إِلَى النَّسْخ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع بَيْنهمَا لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَأَنَّى لَهُ بِذَلِكَ وَإِلَى الْقَوْل بِالضَّعْفِ مَعَ صِحَّة الْكُلّ .
“Sebagian orang bingung bagaimana cara mengkompromikan dalil-dalil yang ada sampai-sampai mentakwil (menyelewengkan makna) sebagian dalil. Yang tepat, dalil larangan dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menunjukkan minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun sebagian orang yang mengklaim adanya penghapusan (naskh) pada dalil atau adanya dalil yang dho’if (lemah), maka itu keliru. Bagaimana mungkin kita katakan adanya naskh (penghapusan) dilihat dari tarikh (adanya dalil yang dahulu dan ada yang belakangan) sedangkan dalil-dalil yang ada masih mungkin dijamak (digabungkan)? Bagaimana kita katakan dalil yang ada itu dho’if (lemah), padahal semua dalil yang menjelaskan hal tersebut shahih? ” (‘Aunul Ma’bud, 10: 131)
Catatan: Sebagian orang mengatakan bahwa minum air zam-zam disunnahkan sambil berdiri berdasarkan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas. Anggapan ini tidaklah tepat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum zam-zam sambil berdiri menunjukkan kebolehkan saja agar orang tidak menganggapnya terlarang. Jadi yang beliau lakukan bukanlah suatu yang sunnah atau sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimana dikatakan Al Bajuri dalam Hasyiyah Asy Syamail,
وإنما شرب (ص) وهو قائم، مع نهيه عنه، لبيان الجواز، ففعله ليس مكروها في حقه، بل واجب، فسقط قول بعضهم إنه يسن الشرب من زمزم قائما اتباعا له
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri. Padahal di sisi lain beliau melarangnya. Perbuatan minum sambil berdiri tadi menunjukkan bolehnya. Jadi yang beliau lakukan  bukanlah makruh dari sisi beliau, bahkan bisa jadi wajib (untuk menjelaskan pada umat akan bolehnya). Sehingga gugurlah pendapat sebagian orang yang menyatakan disunnahkan minun air zam-zam sambil berdiri dalam rangka ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Dinukil dari I’anatuth Tholibin, 3: 417)
Amannya: Makan dan Minum Sambil Duduk
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah diajukan pertanyaan, “Sebagian hadits nabawiyah menjelaskan larangan makan dan minum sambil berdiri. Sebagian hadits lain memberikan keluasan untuk makan dan minum sambil berdiri. Apakah ini berarti kita tidak boleh makan dan minum sambil berdiri? Atau kita harus makan dan minum sambil duduk? Hadits mana yang lebih baik untuk diikuti?”
Syaikh rahimahullah menjawab:
Hadits-hadits yang membicarakan masalah ini shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu melarang minum sambil berdiri, dan makan semisal itu. Ada pula hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau minum sambil berdiri.  Masalah ini ada kelonggaran dan hadits yang membicarakan itu semua shahih, walhamdulillah. Sedangkan larangan yang ada menunjukkan makruh. Jika seseorang butuh makan sambil berdiri atau minum dengan berdiri, maka tidaklah masalah. Ada hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil duduk dan berdiri. Jadi sekali lagi jika butuh, maka tidaklah masalah makan dan minum sambil berdiri. Namun jika dilakukan sambil duduk, itu yang lebih utama.
Ada hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri. Ada pula hadits dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri dan duduk.
Intinya, masalah ini ada kelonggaran. Namun jika minum dan makan sambil duduk, itu yang lebih baik. Jika minum sambil berdiri tidaklah masalah, begitu pula makan sambil berdiri sah-sah saja. (Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/3415)
Kami dapat simpulkan bahwa minum sambil berdiri itu boleh. Hal ini disamakan dengan makan sebagaimana keterangan dari Syaikh Ibnu Baz di atas. Namun kita tetap minum atau makan dalam keadaan duduk dalam rangka kehati-hatian mengingat dalil yang melarang keras minum sambil berdiri.
Wallahu a’lam bish showwab. Wallahu waliyyut taufiq fil ‘ilmi wal ‘amal.



@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 7 Rajab 1433 H
www.rumaysho.com

Kamis, 26 November 2015

Riba'?

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)


Sekilas Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang disepakati kesahihannya oleh para ulama hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, diantaranya :
  • Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.
  • Imam Ahmad bin Hambal ra, dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.
Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), diantaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh :
  • Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
  • Imam Nasa’I dalam Sunannya, Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.
  • Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
  • Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya di banyak tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.
  •   mam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
  • Makna Hadits Secara Umum
Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku riba.

Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan keesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”
Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggabarkan betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.
 
Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ; muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah adalah “memerangi riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.


Makna Riba
Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.
  • efinsi yang sederhana dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
  • Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam hutang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.

Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba jahiliyah.


Riba Merupakan Dosa Besar
Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba. Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.
Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba.

Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).


Periodisasi Pengharaman Riba
Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar:

1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta.
Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.

Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.


2. Tapap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.

Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.


3. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.

Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”


4. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.

Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”


Buruknya Muamalah Ribawiyah
Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :
  1. Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).
  2. Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
  3. Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).
  4. Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
  5. Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
  6. Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
  7. Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).
Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?


Praktik Riba Dalam Kehidupan
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi dihampir seluruh muamalah maliyah kontemporer, diantaranya adalah pada :


1. Transaksi Perbankan.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis bunga (interest based). Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan, apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.

Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.

Selain terjadi pada aspek pembiyaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank, sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank. Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.


2. Transaksi Asuransi.
Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama. Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah pertahun. Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).

Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi (konvensional) ini. Diantara yang mengaramkannya adalah Sayid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi. Oleh karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.


3. Transaksi Jual Beli Secara Kredit.
Jual beli kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfruktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh daeler dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.

Belum lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dibayarkan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.

Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini. Cukuplah nasehat rabbani dari Allah SWT kepada kita “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

Menyikapi perbedaan mazhab

Mengenai sikap terhadap perbedaan madzhab memang perlu dijelaskan karena adanya kesalahan dalam bersikap dan menyikapi perbedaan pendapat yang banyak terjadi di masyarakat akibat ketidak tahuan tentang madzhab itu sendiri. Madzhab dalam istilah ulama adalah kumpulan pandangan dan teori ilmiyah serta filsafat yang satu sama lainnya saling berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan yang erat (lihat al-Madkhol ilaa diraasatil Madzahib wa dirasatil fiqhiyah, Dr Umar Sulaiman al-Asyqar hal. 48).


Dengan demikian madzhab bisa disematkan kepada bidang keilmuan yang ada. Namun yang banyak disebutkan istilah madzhab adalah dalam bidang fikih. Mudah-mudahan yang ditanyakan penanya adalah madzhab fikih ini.


Madzhab fikih adalah metode yang ditempuh oleh seorang ahli fikih yang memiliki derajat mujtahid, di mana dia memiliki ciri khas tersendiri di kalangan ahli fikih dalam menentukan sejumlah hukum-hukum dalam bidah furu’ (cabang agama). Sehingga ruang lingkup madzhab fikih hanya berkisar pada hukum-hukum praktis, tidak masuk pada ruang lingkup aqidah. Demikian juga yang berkaitan dengan hukum, tidak semua hukum dapat dikategorikan dalam istilah madzhab. Hukum-hukum yang dalilnya bersifat qath’i (tegas dan jelas) baik dari status dalilnya atau petunjuk pemahamannya- seperti masalah kewajiban sholat atau haji tidak dapat dimasukkan dalam pembahasan ini.


Akan semakin bijak dalam menyikapi madzhab ini, bila kita mengetahui proses kemunculannya. Memang tidak bisa dipungkiri madzhab dalam fikih adalah sebuah realita sejarah yang tidak mungkin diingkari, karena pengaruhnya sangat terasa hingga sekarang. Sebenarnya madzhab itu lahir dari pergulatan yang intens seorang ulama mujtahid yang selalu berinteraksi dengan sumber-sumber hukum Islam. Dari mulai mengkajinya, lalu berfatwa dengannya dan mengajarkannya hingga membukukannya. Bahkan menghasilkan kaedah-kaedah fikih sendiri disamping adanya kaedah-kaedah baku yang disepakati semua ahli fikih.


Dari sini lahirlah pengikut dan para murid yang berguru langsung dalam mengkaji sebuah disiplin ilmu. Kemudian pengaruh sang guru yang mujtahid ini tentulah sangat besar dalam membentuk kepribadian dan keilmuan seorang murid. Sehingga terkadang sang murid yang sudah memiliki ilmu akan mengajarkan semua yang pernah didapatkan dari sang guru bahkan kadang tidak keluar dari semua pendapat sang guru tersebut. Bahkan sampai-sampai sang murid akan bereaksi apabila mendapatkan pendapat lain yang menyelisihi pendapat sang guru dengan memberikan argumentasi dan bantahan untuk membuktikan bahwa pendapatnya adalah pendapat yang sudah diuji dalam sebuah adu argumentasi.


Dalam taraf seperti ini masih wajar, apalagi generasi awal dari para pengikut imam ini masih orisinil mengikuti imam madzhabnya berdasarkan pengetahuan sumber dan dalil yang mereka ketahui. Madzhab-madzhab yang berkembang dan populer dewasa ini sebenarnya bukanlah dibuat oleh para imam tersebut, namun hasil dari jerih payah para pengikut yang mengumpulkan dan mengkodefikasi hasil ijtihad para imam dengan ditambahi dengan pendapat-pendapat para pengikut tersebut dikemudian harinya. Sehingga madzhab Syafi’i bukan hanya berisi fatwa dan pendapat imam Syafi’i saja.



Dengan demikian jelaslah tidak benarnya berpedoman hanya dengan satu madzhab saja tanpa melihat madzhab lain dan dalil-dalil pendapat mereka. Sebab para imam madzhab sendiri menjadikan dalil al-Qur`an dan sunnah sebagai dasar hukumnya. Mereka merubah fatwa mereka apabila menyelisihi sumber hukum tersebut dan melarang sikap fanatis buta terhadapa madzhabnya.


Munculnya madzhab-madzhab ini menimbulkan perselisihan pendapat tentang kesimpulan hukum atau pendapat atau dinamakan dan istilah masalah khilafiyah. Lalu bagaimana menyikapinya?
Di tengah masyarakat ada dua pikiran negatif terhadap masalah khilafiyah ini, pertama menolak mentah-mentah adanya perbedaan pendapat. Menurut mereka, selama Islam hanya satu dan rujukannya sama maka kesimpulan hukumnya pun tidak boleh berbeda-beda agar umat tidak berpecah belah. Pendapat ini tidak benar karena perbedaan pendapat adalah hal yang tidak dapat ditolak dalam Islam. Juga merupakan konsekwensi logis dari adanya beberapa teks nash syariat yang dapat mengandung beberapa pengertian ditambah dengan adanya perbedaan kemampuan manusia dalam menganalisa dalil-dalil tersebut.


Pendapat kedua menjadikan kebolehan berbeda pendapat berlaku pada semua masalah dalam ajaran Islam. Sikap ini juga salah, karena dalam Islam ada masalah-masalah yang memang ada zone ijtihad yang akhirnya menimbulkan perbedaan pendapat di antara mujtahidin dan ada masalah yang sudah tegas dan jelas dasarnya yang tidak ada disana zone ijtihad, seperti hukum-hukum rukun Islam dan sejenisnya.
Untuk itu perlu diperhatikan dua asas yang menjadikan perbedaan pendapat dibenarkan:
  1. Perbedaan tersebut lahir dari pemahaman terhadap dalil dzanni yang dapat menyebabkan perbedaan penafsiran
  2. Perbedaan tersebut terjadi di kalangan ulama atau mujtahiddan dalam masalah yang dibenarkan berselisih padanya.
Dengan demikian, tidak semua masalah agama dibenarkan adanya perbedaan pendapat. Ada perbedaan pendapat yang dibenarkan dan ditoleransi dan ada yang tidak dapat ditoleransi.
Sehingga bisa jadi pendapat yang menyelisihi kebenaran dapat dikategorikan sudah menyimpang dan kadang belum sampai dikatakan menyimpang.


Dari sini jelaslah bahwa pendapat saudara tidak tepat dengan menyamakan semua madzhab adalah satu dan tidak boleh ada yang dihukumi menyimpang.
Nah cara mengatasinya adalah mengajak semua yang berbeda pendapat untuk merujuk kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan melihat kembali pemahamana para sahabat dan para salaf ash-Shaalih dari umat ini. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.Kkemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisaa’: 59).
Demikian juga dijelaskan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Irbaadh bin Saariyah yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا  حَبَشِيًّا، وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Wajib atas kalian bertakwa kepada Allah dan taat dan patuh kepada pemimpin walaupun budak habasyi. Kalian akan melihat setelahku perselisihan yang banyak, maka wajib bagi kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnahnya para khulafa’ rasyidin mahdiyin ( berilmu dan beramal dengan ilmunya), gigitlah dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah terhadap perkara baru karena setiap bidah adalah sesat. (HR Ibnu Majah).
Dengan tetap memperhatikan pendapat-pendapat yang ada pada madzhhab tersebut dengan tentunya memperhatikan hal-hal berikut:
  1. Selain para nabi dan  rasul tidak ada manusia yang ma’shum bebas dari kesalahan.
  2. Menghormati para ulama tidak mesti harus menerima setiap yang mereka lontarkan. Sebagaimana juga sebaliknya tidak menerima pendapat mereka tidak berarti merendahkan martabat mereka.
  3. Kekeliruan para ulama dalam berijtihad tidak identik dengan dosa. Karena ijtihad mereka bisa benar dan bisa salah. Dalam dua keadaan tersebut mereka mendapatkan pahala dari Allah.
  4. Tidak setuju dengan pendapat salah seorang ulama hendaknya dilandasi dengan dalil-dalil yang ada, bukan sekedar keterikatannya dengan madzhab tertentu.
  5. Tidak setuju terhadap pendapat seorang ulama tidak berarti boleh mencela dan merendahkan martabatnya.
  6. Tidak dibenarkan mencari-cari atau mengumpulkan kesalahan atau kekhilafan para ulama sebagai bahan untuk menjatuhkan martabatnya.
Demikian beberapa keterangan tentang madzhab yang saudara tanyakan semoga bermanfaat.
wallahu a’lam.

Sumber :http://klikuk.com/perbedaan-madzhab-dan-pendapat-bagaimana-menyikapinya/

Baca al-Quran Jangan Ngantuk, Ngantuk Jangan Baca al-Quran


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, Bulan ramadhan, bulan al-Quran. Kita dianjurkan sebanyak mungkin dan sesering mungkin membaca al-Quran. Siang dan malam. Menjadi ajang perlombaan bagi kaum muslimin yang tengah menjalani puasa.
Namun ada satu catatan yang perlu diperhatikan,
Membaca al-Quran jangan ngantuk, ngantuk jangan baca al-Quran.
Karena ngantuk, terkadang bisa ngelantur dan salah baca. Yang tentu saja, merusak bacaan al-Quran.
Untuk itu, ketika ngantuk datang, agar menghentikan bacaan al-Quran.


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَاسْتَعْجَمَ الْقُرْآنُ عَلَى لِسَانِهِ فَلَمْ يَدْرِ مَا يَقُولُ فَلْيَضْطَجِعْ
Apabila kalian bangun malam, sehingga bacaan al-Qurannya menjadi kacau, sampai dia tidak sadar apa yang dia baca, hendaknya dia tidur. (HR. Muslim 1872, Ibnu Majah 1434 dan yang lainnya).
Dalam hadis lain, dari A’isyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ
Apabila kalian mengantuk ketika shalat, hendaknya dia tidur, sampai hilang kantuknya. Karena kadang ada orang yang shalat sambil ngantuk, mungkin dia hendak beristighfar, tapi mendoakan keburukan untuk dirinya. (HR. Muslim 1871, Abu Daud 1312, dan yang lainnya).
Selanjutnya ada 2 pilihan,
  1. Beristirahat sampai ngantuknya hilang. Dengan tetap komitme untuk lanjut baca jika sudah seger.
  2. Hilangkan ngantuk dengan berwudhu atau melakukan aktivitas ringan lainnya
Dan jangan lupa berdoa kepada Allah, memohon agar Allah menghilangkan rasa kantuk dalam diri anda.
Diam Jika Menguap
Jika anda menguap, jangan nekat membaca al-Quran. Karena suara anda akan terdengar aneh. Yang seharusnya anda lakukan adalah menghentikan bacaan alQuran dan menutup mulut. Agar setan tidak masuk.


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ
“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Oleh karena itu bila kalian bersin lalu dia memuji Allah, maka wajib atas setiap muslim yang mendengarnya untuk ber-tasymit (mengucapkan “yarhamukallah”). Sedangkan menguap itu dari setan, jika seseorang menguap hendaklah dia tahan semampunya. Bila orang yang menguap sampai mengeluarkan suara ‘haaahh’, setan tertawa karenanya.” (HR. Bukhari 6223)
Allahu a’lam

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber: http://www.konsultasisyariah.com/baca-al-quran-jangan-ngantuk-ngantuk-jangan-baca-al-quran/

Hamil Muntah-Muntah, Tenang, Ada STiga [Suami Shalih Siaga –Siap antar jaga]

Morning sickness, inilah istilah mengenai wanita muntah-muntah saat kehamilan dengan beberapa kriteria. Bisa menjadi lebih parah kemudian menjadi penyakit hiperemesis gravidarum dengan beberapa kriteria. Bagi yang sudah mempunyai generasi penerus, penyambung gen DNA-nya dimuka bumi pasti sudah tahu bagaimana perjuangan istri melewati fase ini. Fase ini dilalui sebagian besar para istri. Oleh karena itu, saat-saat ini dibutuhkan suami yang sangat perngertian.

Kita tentu tidak mau menjadi suami yang biasa-biasa bagi istri kita. Tidak sekedar hanya memberi perhatian , tetapi memberi perhatian “plus-plus”, dirasakan kasih sayang dan kelembutannya didunia yang akan berkelanjutan sentuhanya, kemudian bersemayamlah dihati istri kita sampai tetap besanding kelak di “A’la ‘Illiyin” [surga tertinggi].


Kami ingin menasehati diri kami pribadi yang lalai akan hal ini. Kami berusaha menyajikan bagaimana selayaknya seorang suami yang shalih menghadapi hal ini. Karena yang namanya wanita sangat manja, sangat butuh belaian dan dekapan hangat laki-laki yang sah, apalagi disaat-saat seperti ini. Ingin rasanya mereka mengikat tali kekang para suami mereka agar tetap berada disisi mereka. Kami sertakan juga pembahasan secara kedokteran agar lebih memberi pemahaman.

Kabar gembira yang bercampur

Kehamilan bukan sekedar kegembiraan saja, ia bercampur dengan kewaspadaan, kekhwatiran dan kesusahan, para suami hendaklah merenungkan firman Allah Ta’ala,
أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” [Lukman: 14]


Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini,
ضعفا على ضعف وَشدَّة على شدَّة ومشقة على مشقة كلما كبر الْوَلَد فِي بَطنهَا كَانَ أَشد عَلَيْهَا
“Kelemahan diatas kelemahan, penderitaan diatas penderitaan, kesusahan di atas kesusahan, tatkala anak dikandungannya membesar kesusahan semakin bertambah.” [Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni Abbas hal. 345, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]



Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’diy rahimahullah berkata,
أي: مشقة على مشقة، فلا تزال تلاقي المشاق، من حين يكون نطفة،
من الوحم، والمرض، والضعف، والثقل، وتغير الحال، ثم وجع الولادة
“Yaitu, Kesusahan diatas kesusahan, terus-menerus menemui kesusahan sejak kandungan berbentuk nutfah berupa mengidam/tidak berselera makan [mungkin maksud beliau juga muntah-muntah saat hamil, wallahu a’lam, pent], sakit, kelemahan, beban dan perubahan keadaan. Kemudian mersakan sakitnya melahirkan.” [Taisir Karimir Rahmah hal 617, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Pertama, 1424 H]

Apa itu Hiperemesis gravidarum?
Mungkin morning sickness sudah biasa dialami oleh setiap ibu hamil, oleh karena itu kami lebih membahas tentang hiperemesis gravidarum. Kami jabarkan sesuai dalam yang menjadi sumber kami:
http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview


“Nausea and vomiting in pregnancy is extremely common. Hyperemesis gravidarum (HEG) is the most severe form of nausea and vomiting in pregnancy”
“Mual dan muntah selama kehamilan adalah hal yang sangat biasa terjadi. Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang hebat selama kehamilan.”

Kami tambahkan, biasanya terjadi pada trimester/tiga bulan awal kehamilan.



Wahai Para suami, tanggung jawab hasil perbuatanmu
Kita harus menyadari bahwa ini adalah hasil perbuatan kita kepada istri kita. Apakah kita sekedar bersenang-senang menumpahkah benih saja?. Karena kita menanam benih, maka terjadilah perubahan ditubuh istri kita. Patofisiologi [perjalanan penyakit] mual dan muntah adalah respon tubuh menyesuaikan benda yang dianggap “asing” awalnya oleh tubuh. Kemudian hasil penyesuaian inilah yang berdampak mual dan muntah.


Istri asalnya adalah tanggung jawab yang kita minta dari bapaknya, apalagi ditambah hasil perbuatan kita. Perhatikan Allah Ta’ala menggunakan kata-kata [تحت] “tahta”/ bawah, untuk sebutan istri,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَاِمْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah [pengawasan] dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami.” [At-Tahrim:10]

Maksudnya adalah tanggung jawab berupa pengawasan, penjagaan dan perlindungan.


Dalam kitab At-Tafsir Al-musyassar dijelaskan mengenai ayat ini,
حيث كانتا في عصمة عبدَين من عبادنا صالحين
“Dimana keduanya [istri Nabi NUh dan Luth] berada dalam pengawasan/penjagaan dua hamba dari hamba kami yang shalih.” [At-Tafsir Al-musyassar hal. 561, Majma’ Al-Malik Fahd, Saudi, Asy-Syamilah]

Gejala-gejala Hiperemesis gravidarum
Bagi para STiga [Suami Shalih Siaga –Siap antar jaga-], perlu diperhatikan, istri kita akan mengalami beberepa gejala berikut.

Gejala pertama
-“The defining symptoms of hyperemesis gravidarum are gastrointestinal in nature and include nausea and vomiting.
“Gejala utama hiperemesis gravidarum adalah gangguan gastrointestinal yang meliputi mual dan muntah”

Ketika istri mengalami mual-muntah, hendaknya para suami berusaha berada disisi istri, membelainya, memijat-mijat kecil didaerah sekitar belakang leher karena bisa mengurangi ketegangan. Menghiburnya bahwa ini adalah awal ujian kita bersama, latihan awal dari Allah mengenai beban mengurus anak agar kelak bisa lebih siap.

Ingatkan ia akan kesabaran, kehamilan adalah salah satu perjuangan wanita dalam agama dengan melahirkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Bahkan meninggal karena kehamilan adalah mati syahid bagi wanita,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَقَالَ: ” أَتَدْرُونَ مَنْ شُهَدَاءُ أُمَّتِي؟ ” قَالُوا: قَتْلُ الْمُسْلِمِ شَهَادَةٌ،
قَالَ: ” إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ، قَتْلُ الْمُسْلِمِ شَهَادَةٌ،
وَالطَّاعُونُ شَهَادَةٌ، وَالْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَا “
“Tahukan kalian siapa saja orang yang mati syahid dari umatku?, mereka menjawab, “muslim yang dibunuh [saat membela islam] kemudian mati syahid”, beliau berkata, “jika demikian orang yang mati syahid dari umatku sangat sedikit, muslim yang dibunuh kemudian mati adalah syahid, mati karena penyakit tha’un adalah syahid, Seorang wanita yang meninggal karena melahirkan anaknya [HR. Ahmad no.17797, shahih, tahqiq Syu’aib Al-Arna’uth, Muassasah Risalah, Asy-Syamilah]

Berikut adalah tips menghadapi mual dan muntah selama kehamilan:
>>Makanlah sedikit-sedikit tapi sering, jangan makan dalam jumlah atau porsi besar, karena hanya akan membuat anda bertambah mual. Berusahalah makan sewaktu anda dapat makan, dengan porsi kecil tapi sering.
>>Makanlah makanan yang tinggi karbohidrat dan protein yang dapat untuk membantu mengatasi rasa mual anda. >>Banyak mengkonsumsi buah dan sayuran dan makanan yang tinggi karbohidrat seperti roti, kentang, biskuit, dan lain-lain.
>>Ketika bangun tidur pagi harijangan langsung terburu-buru terbangun, cobalah duduk dahulu dan baru perlahan berdiri bangun. Bila anda merasa sangat mual ketika bangun tidur pagi siapkanlah snack atau biscuit kering didekat tempat tidur anda, dan anda dapat memakannya dahulu sebelum anda mencoba untuk berdiri.
>>Kurangai atau jangan makan makanan yang berlemak, berminyak dan pedas yang akan memperburuk rasa mual anda.
>>Minumlah yang cukup untuk menghindari dehidrasi akibat muntah. Minumlah air putih, ataupun juice. Hindari minuman yang mengandung kafein dan karbonat.
>>Vitamin kehamilan seperti asam folat terkadang memperburuk rasa mual, tapi anda tetap memerlukannya untuk kehamilan anda ini.
>>Vitamin B6 cukup efektif untuk mengurangi rasa mual pada ibu hamil.

Berdasarkan pengalaman kami menemui pasien seperti ini, terkadag suasana rumah menyebabkan mereka mual dan muntah, misalnya bau cat rumah, bau kamar mandi, suasana kamar. Maka hendaknya suami mengantarnya ke tempat yang lain. Misalnya tidur di ruang tengah atau pindah sementara di rumah mertua dan lain-lain.



Pengobatan Tradisional:
Biasanya orang menggunakan jahe dalam mengurangi rasa mual pada berbagai pengobatan tradisional. Ada penelitian di Australia menyatakan bahwa jahe dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk mengatasi rasa mual dan aman untuk ibu dan bayi. Pada beberapa wanita hamil ada yang mengkonsumsi jahe segar atau permen jahe untuk menbantu mengatasi rasa mualnya.

Pengobatan tibbun nabawi:
Ahli herbal khususnya tibbun nabawi menyatakan bahwa produk bernama “Talbinah” dari tepung biji gandum bisa digunakan sebagai antiemetik yang mengurangi mual dan muntah. Namun kami belum tahu lebih pasti bagaimana jika digunakan untuk ibu hamil.

Pengobatan kedokteran barat:
Jika berbagai tips talah dijalani, tetapi masi saja mual muntah. Mungkin diperlukan obat antiemetik yang berdasarkan pengalaman kami menemui beberapa pasien, obat ini cukup berhasil. Beberapa obat tersebut.
-Kombinasi pyrathiazine dan B6 dengan merk dagang:
Anvomer,mediamer,provomer, pregmovit, voldiamer
Dosisnya 1-2x sehari
Sebelum menkonsumsi obat ini ada baiknya konsultasi ke dokter
-metoklopramid
Dosisnya 3x sehari
Namun setahu kami, obat ini sudah mulai ditinggalkan karena efeksampingnya.

Gejala kedua
“Other common symptoms include ptyalism (excessive salivation), fatigue, weakness, and dizziness. “
Gejala lainya yang sering berupa ptyalism [produksi air ludah berlebihan], kelelahan, kelemahan dan pusing

Dengan keadaan seperti ini, hendaknya para STiga berjiwa besar dengan bersabar jika istri tidak bisa menunaikan tugasnya pokoknya sebagai istri:
-Yang mungkin paling penting suami tidak dapat “jatah” atau memberikan “jatah” kepadanya
Jika punya istri lebih dari satu mungkin tidak masalah karena bisa mendatangi istrinya yang lain, jika hanya satu istri hendaknya bersabar dengan berpuasa dan sibuk mengisi waktu dengan aktifitas positif sehingga bisa melupakannya atau meminta istri memakai pakaian yang tidak terlalu memancing.

Apakah “tangan” istri bisa jadi solusi?
Yaitu mengeluarkan benih laki-laki menggunakan tangan istri, Wallahu a’lam, pendapat terkuat adalah boleh. Berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai bolehnya besenang-senang dengan budak dan istri yang halal,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَْ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَْ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [Al-Mukminun: 5-7]

-Istri tidak bisa menunaikan tugas rumah tangga
Hendaknya para Stiga bisa memaklumi, misalnya keadaan rumah yang agak berantakan. Kemudian mau membantu, jika tidak ada pembantu, atau suami sangat sibuk, bisa minta kerabat keluarga seperti mertua atau adik perempuannya untuk menemani istri. Kita hendaknya mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak segan membantu istrinya dirumah, padahal beliau adalah nabi, kepala negara dan hakim yang banyak dicari oleh manusia.


Aisyah radhiallahu ‘anha berkata
كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi sholat”. [HR Al-Bukhari V/2245 no 5692]

Dan juga ada yang bertanya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha,
عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ
كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ
قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ
Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember”. [HR Ibnu Hibban XII/490 no 5676, XIV/351 no 6440]

–Dijauhi istri karena tidak suka bau suami
Ada beberapa kasus seperti ini, mendadak istri jadi tidak suka bau suami, baru saja suara motor atau mobil suami terdengar datang, istri sudah mulai mual. Ini perlu kesabaran yang sangat dari para Stiga jika terjadi seperti ini.



Gejala ketiga
Patients may experience the following: Sleep disturbance
“pasien bisa mengalami hal berikut: gangguan tidur”

Gangguan tidur bisa berupa, kesulitan memulai tidur atau sering bangun tengah malam ketika tidur sehingga kualitas tidur sangat kurang dan bisa berpengaruh buruk kepada ibu dan janinya.
Hendaknya para Stiga mau “meneloni” istri, menemani begadang jika perlu untuk menenangkan dan menghiburnya. Menggelus, membelai, mendekap hangat, berbicang-bincang ringan dan asyik sebelum tidur. Dan keseharian kita sebaiknya memang demikian. Karena waktu sebelum tidur adalah waktu yang dinanti-nanti para istri untuk dekat dengan suaminya, ia bisa bermanja-manja, menceritakan uneg-unegnya, mendengar cerita suami, berbincang-binvang ringan berselimutkan tirai malam. Sungguh keadaan romantis bagi istri yang sering dilalaikan kita para suami. Nastagfirullah.
Lihat contoh suami terbaik yang pernah ada yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercengkrama bersama istrinya sebelum tidur.


Berkata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُوْنَةَ فَتَحَدَّثَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ
“Aku menginap di rumah bibiku Maimunah (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan istrinya (Maimunah) beberapa lama kemudian beliau tidur”. [HR Al-Bukhari IV/1665 no 4293, VI/2712 no 7014 dan Muslim I/530 no 763]

Padahal beliau menyatakan bahwa hukum asal berbincang-bincang setelah sholat isya’ adalah dibenci, Sebagaimana dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiallahu ‘anhu dimana beliau berkata,
وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya’ dan berbincang-bincang setelahnya” [HR Al-Bukhari I/201 no 522, I/208 no 543 dan Muslim I/447 no 647]
Tetapi bincang-bincang bersama istri malah diperbolehkan.



Gejala keempat:
“Patients may experience:Depression, Anxiety, Irritability, Mood changes, Decreased concentration”
“Pasien juga bisa mengalami: depresi, cemas, sensitif, perubahan mood dan penurunan konsentrasi”

Disini diperlukan para Stiga yang bisa mencairkan suasana dengan memberikan candaan yang ringan dan tidak mengadung unsur cerita bohong. Istri yang tadinya gampang marah karena sensitif atau sedih bahkan cemas bisa terhibur. Dan memang selayaknya suami bercanda dan bermain-main dengan istri dan ini mendapatkan pahala berdasarkan.
Banyak kita dapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda dengan istri-istrinya, lomba lari dengan istrinya, mandi bareng [sunnah yang jarang diterapkan] dan lain-lain begitu juga pengakuan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suka bercanda dengan istrinya, dihormati diluar rumah, sebagimana dalam Shahih Bukhari bab Al-Adab.
Bagaimana bercanda dengan istri, itu adalah rahasia kalian berdua, tidak baik menampilkannya kemesraan dimuka umum.

Pengobatan hiperemesis gravidarum
Biasanya perlu opname di rumah sakit atau puskesmas. Kemudian dokter akan menempuh terapi.
Salah satu terapi kami ambil dari sumber:
http://www.americanpregnancy.org/…/hyperemesisgravidarum.ht…


kemudian kami beri tambahan penjelasan,
–bedrest
Tirah baring, tetap istirahat ditempat tidur dan kurangi aktifitas.
–iIntravenous fluids (IV) – to restore hydration, electrolytes, vitamins, and nutrients
Cairan dan elektrolit yang hilang saat mutah harus diganti dengan cairan infus
–Tube feeding:
Yaitu pemberian makanan lunak melalui semacam selang
-Nasogastric – restores nutrients through a tube passing through the nose and to the stomach
Selang lewat hidung langsung menuju kelambung, agar villi/jonjot usus tidak rusak oleh asam lambung karena tidak pernah terisi makanan
-Percutaneous endoscopic gastrostomy – restores nutrients through a tube passing through the abdomen and to the stomach; requires a surgical procedure
Ini adalah jalan terakhir dan membutuh prosedur operasi, selang melalui perut dan langsung berhubungan dengan saluran pencernaan

Catatan:
Morning sickness dan hiperemesis gravidarum sekilas nampak sama, tetapi ada perbedaan yang membedakannya.
Sumber:
http://www.americanpregnancy.org/…/hyperemesisgravidarum.ht…


Morning Sickness:
1. Nausea sometimes accompanied by vomiting, terkadang muntah
2. Nausea that subsides at 12 weeks or soon after,mual mereda setelah 12 minggu
3. Vomiting that does not cause severe dehydration, tidak dehidrasi berat
4. dehydration Vomiting that allows you to keep some food down, masih bisa makan

Hyperemesis Gravidarum:
1. Nausea accompanied by severe vomiting, selalu muntah
2. Nausea that does not subside, mual tidak mereda
3. Vomiting that causes severe dehydration, dehihdrasi berat
4. Vomiting that does not allow you to keep any food down, tidak bisa makan sama sekali

Demikianlah yang dapat kami uraikan, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin, kami saya pintar bicara saja, tetapi kami pun lalai, hanya bisa beristigfar kepada Allah dan meminta maaf kepada istri tercinta. Semoga kami tidak termasuk dalam ancaman Al-Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَْ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [Ash-Shaf:2-3]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
25 Syawwal 1432 H, Bertepatan 24 September 2011
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis.
artikel http://muslimafiyah.com

Kamis, 19 November 2015

Gunakan Sabun Pada Fungsinya

DEWASA ini, dalam bidang medis, onani atau masturbasi banyak dianjurkan untuk para pemuda-pemudi yang belum menikah. Jika pun tidak dianjurkan, tapi dibolehkan.  Alasannya, untuk kesehatan. Ada saja dalih-dalih yang dipergunakan. Mulai dari mencegah kanker, menjaga imunitas tubuh, sampai melepaskan stress, dan sebagainya. Tapi sesungguhnya bagaimana hukumnya dalam Islam?
Masturbasi atau Onani (dalam bahasa Arab disebut dengan Istimna) ialah suatu perbuatan merangsang diri sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan tanpa pasangan yang sah. Dalam Islam—menurut mayoritas para fuqaha—onani adalah suatu perbuatan yang dipandang sebagai dosa besar. Imam Ashafie dan Imam Malik, mengharamkan perbuatan ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an: “Dan mereka yang menjaga kehormatannya (dalam hubungan seksual) kecuali kepada istri atau hamba sahayanya, maka sesungguhnya mereka tidaklah tercela. Maka barangsiapa yang menginginkan selain yang demikian, maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas,” (Surat Al-Mu’minun 23-5,6,7).

Penjelasan Imam As-Shafie dan Imam Malik diperkuat pula oleh riwayat berikut: “Di hari akhirat Tuhan tidak akan melihat golongan-golongan ini lantas terus berfirman: ‘Masuklah kalian ke dalam api neraka bersama-sama mereka yang (berhak) memasukinya. Golongan-golongan tersebut ialah 1). Orang-orang homoseksual, 2). Orang yang bersetubuh dengan hewan, 3). Orang yang mengawini istri dan juga anak perempuannya pada waktu yang sama dan, 4). Orang yang kerap melakukan onani, kecuali jikalau mereka semua bertaubat dan memperbetulkan diri sendiri, (maka tidak lagi akan dihukum,” (Maksud riwayat yang disandarkan kepada Nabi Sallallahu-alaihi-wasallam, dikemuakan oleh Imam azd-Dzahabi dalam Al-Ka’bar, 59, tanpa mengemukakan status kekuatannya atau sumber periwayatannya).

Mengapa masturbasi dan onani diharamkan? Sebab ini akan hanya mendorong pelakunya untuk melakukan hubungan seksual yang selanjutnya. Nah pintu inilah yang ditutup oleh Islam. Menurut Shah Waliallah Dahlawi kegiatan ini juga berdampak pada aspek negatif priskologis si pelaku, perasaan malu, kotor dan berdosa menghinggapi. Sehingga ia tidak berani untuk mendekati laki-laki atau wanita yang ia sukai. Malu akan kelakuannya ini juga merupakan fitrah manusia.


Melakukan hal itu secara sering juga banyak membawa mudarat kepada kesehatan si pelaku, badan lemah, anggota tubuh kaku dan bergetar, perasaan berdebar-debar dan pikiran tidak menentu. Belum lagi hal ini akan mempengaruhi produksi berbagai organ reproduksi yang normal. Berkurangnya sel telur dan sperma hingga tidak bergairah. Melazimkan diri dengan onani telah membuat pelaku menjauhi nilai-nilai moral serta akhlak tinggi yang menjadi unsur utama kemuliaan umat Islam.

Namun, sebagaian ahli fiqh berpendapat bahwa onani-masturbasi dibolehkan jikalau seseorang menghadapi keadaan yang gawat karena luapan syahwat dan dia berkeyakinan bahwa dengan melakukan hal ini, ia akan meredakan syahwatnya dan dapat pula menghalangi dirinya dari terjerumus ke dalam sesuatu zina atau pelacuran. Setelah tentunya ia melakukan berbagai tindakan preventif seperti puasa, dzikir dan shalat, (QS Yusuf 12, ayat 32 dan 33).

Membolehkannya para ulama bukanlah bertujuan menghalalkan perbuatan tersebut tetapi didasarkan kepada kaidah usul fiqh yang menyatakan: “Dibolehkan melakukan bahaya yang lebih ringan supaya dapat menghindari bahaya yang lebih berat.” Di sini perlu diperhatikan bahwa, itu diperbolehkan dalam suasana yang amat penting. Bukan dilakukan setiap hari dengan ransangan pula. Pertama dibolehkan atas dasar pertimbangan maslahat agama. Sedangkan yang kedua diharamkan atas dasar pertentangan dengan perintah dan nilai-nilai agama.

Dan barang siapa yang berusaha untuk menjauhkan onani-masturbari atas dasar taqwa dan iman kepada Allah Subhanahu waTa’ala, niscaya Allah akan mencukupinya. Insya-Allah hidayahNya akan membimbing seseorang itu menjauhi perbuatan nista tersebut dan akan digantiNya dengan anugerah kelazatan jiwa dan kepuasan batin yang tidak mungkin tergambarkan.

Sederhananya, jika hati dan nurani kita merasa tidak nyaman dengan apa yang kita lakukan, itulah tandanya bahwa ada sesuatu yang salah dengan yang sedang kita perbuat. Wallohu alam bishawwab.

[sa/islampos/berbagaisumber/Reliance of the traveler oleh Imam As-Shafie/Prof. Dr. Afzalur Rahman- Ensiklopedia sirah 5/25-26 dengan merujukan kepada ahli-ahli kesehatan/Prof. Dr. Hamka – Membahas soal-soal agama dan ensiklopidi hukum islam 4/1149/Shaikh Al-Tantawi – Al-Fatawa, ms 1761; Prof. Dr. Yusuf Qardhawi-halal dan haram in islam, pg 171; Ensiklopidi Hukum Islam, 4/1148-1149.]

tidak untuk VALENTINEDAY

Setiap tanggal 14 Februari, banyak generasi muda, tanpa terkecuali generasi muda Islam merayakan Valentine’s Day (hari kasih sayang). Hari tersebut merupakan hari “keramat” yang ditunggu kedatangannya. Karena bagi kalangan muda, merupakan moment yang tepat untuk mencurahkan kasih sayang kepada sang “pacar”. Valentine’s Day yang dibungkus dengan kertas suram dan lusuh, sepertinya Islami dan dapat diterima akal, tetapi sebenarnya bertentangan dengan al-Quran dan al-Hadis. Sebagian generasi muda Islam berasumsi, “nilai-nilai islam sudah kuno”, sehingga perlu dan sekularisme.

Valentine’s Day, berawal dari semboyan sederhana yang dilancarkan “ghazwul fikri” (infasi pemikiran), yang hasilnya berkembangnya budaya “pacaran”. Saling memberikan kartu ucapan kasih sayang, cendra mata berupa kado, kembang gula, boneka lucu, dan pernak-pernik lainnya.
Pada umumnya, pernak-pernik untuk keperluan Valentine’s Day bernuansa pingk, warna yang terkesan lembut dan romantis. Warna ini sangat pas mewakili perasaan damai orang yang sedang kasmaran, atau yang ingin memanfaatkan moment itu untuk mengungkapkan perasaannya.
Pada awalnya, Valentine’s Day merupakan acara pemberian kasih sayang kepada orang tua dari anak, dari abang kepada adik dan kepada keluarga-keluarga lainnya. Namun realitasnya belakangan ini disalahgunakan oleh kalangan muda/i. Mereka biasanya membuat acara spesial Valentine’s Day dengan kawan-kawan sebaya, dengan pacar dan sebagainya.

Sejarah Valentine’s Day
Sebenarnya, sejarah Balentine’s Day ada beberapa versi. Dalam tulisan ini cukup diulas dua versi saja. Pertama, pada abad ke-3 M, berkuasa seorang raja Romawi yang bernama Claudus II Chotcus. Pada tanggal 14 Februari 269 M, raja Romawi tersebut menghukum seorang pendeta yang bernama Santo Valentine, yang dianggap bersalah karena menentang ketentuan kerajaan.
Santo Valentine’s telah menikahkan sepasang remaja, yang sedang menjalin cinta kasih. Tindakan ini dianggap bertentangan dengan ketentuan kerajaan. Ketentuan raja Romawi saat itu, laki-laki muda dan single dilarang menikah. Sebab, prajurit kerajaan yang belum menikah dianggap memiliki keunggulan yang luar biasa di medan perang.

Bagi pihak gereja, tindakan Santo Valentine’s dianggap benar, karena sudah melindungi orang yang sudah bercinta. Sehingga ia dinobatkan sebagai pahlawan “kasih sayang”. Bahkan, Paus St Julius I, membangun monumen untuk menghormati jasa beliau.
Kedua, Valentine’s Day juga merupakan warisan budaya Romawi kuno, yakni pemujaan dan penyembahan terhadap dua dewa besar. Yaitu Desa Lupercus (dewa kesuburan, padang rumput dan ternak), dan dewa Faunus (dewa alam semesta). Upacara ini dilakukan setiap tanggal 15 Februari, masa kekuasaan Kaisar Constantine (280-337).

Upacara pemujaan terhadap dua maha dewa tersebut, diawali dengan penyembelihan binatang ternak. Darah dari pisau penyembelihan binatang ternak tersebut, dioleskan ke dahi para pemuda yang mengikuti upacara sakral tersebut. Selanjutnya, dibuat cambuk dari kulit hewan kurban, dan dibawa mengelilingi bukit “Falatine”.
Dalam acara mengelilingi bukit Falatine, para pemuda akan mencambuki setiap gadis dan wanita yang ditemuinya. Anehnya, wanita yang dicambuk itu, menerima dengan senang hati, tanpa perasaan marah dan dendam. Karena mereka beranggapan cambuk tersebut “bertuah” dan dapat mengembalikan kesuburan wanita.

Setelah upacara perayaan selesai, raja memberikan kesempatan wanita, untuk menyampaikan pesan cintanya kepada laki-laki pujaannya, pada sebuah jambangan besar yang telah disediakan. kemudian remaja pria akan menerima pesan-pesan cintanya tersebut.
Dilanjutkan dengan cinta kasih, antara sepasang remaja yang telah saling memberi dan saling menerima cinta. Kemudian secara berpasang-pasangan bernyanyi bersama, dan berdansa.

Tinjauan Islam Tentang Valentine’s Day
Adapun tinjauan Islam tentang Valentine’s Day adalah sebagai berikut, yaitu. Pertama, Valentine’s Day adalah kebudayaan non muslim. Menilik sejarah Valentine’s Day, terlihat bahwa hal tersebut salah satu upacara peribadatan (pensucian diri) umat Nasrani, yang diadopsi dari budaya Romawi kuno.

Valentine’s Day tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Al Hadist. Islam tidak memperkenankan (haram) mengambil peribadatan yang tidak mempunyai dasar hukum, di luar al-Quran dan al-Hadis. Tindakan yang demikian dinamakan bid’ah. Hadis Rasulullah, “Siapa yang mengada-ada sesuatu dalam agama Islam, sesuatu yang tidak ada dasar dari padanya, maka ia pasti ditolak”. HR.Bukhari Muslim.

Islam adalah agama yang universal, sehingga tidak ada yang tinggal dan tidak dijelaskan Allah maupun Rasulnya. Allah SWT, memerintahkan umatnya agar selalu berada di dalam al-Quran dan al-Hadis. Firman Allah: “Sesungguhnya inilah jalanku, yang lurus, ikutilah dan jangan mengikuti yang lainnya. (QS. 06:153) Namun realitasnya, tidak sedikit generasi muda Islam, yang terbawa arus mengikuti perayaan Valentine’s Day tersebut. Padahal dalam Islam, perbuatan yang demikian jelas tidak diperbolehkan.

Kedua, Valentine’s Day adalah perbuatan mendekati zina. Islam melarang umatnya untuk mendekati zina, apalagi turut andil dalam perbuatan zina. Firman Allah, “Janganlah engkau mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan yang kotor dan seburuk-buruk jalan. (QS 17:32). Pacaran merupakan salah satu perbuatan yang mendekati zina, karena itu Islam tidak mengenal “konsep pacaran”.

Ketiga, Valentine’s Day adalah perbuatan mubazzir. Umat Islam dituntut untuk meninggalkan kehidupan yang berpoya-poya dan bermewah-mewah. Dunia adalah perantarah (wasilah) untuk menuju kehidupan akhirat yang abadi. Umat Islam harus senantiasa mensyukuri nikmat Allah, dan membelanjakajn apa yang dimilikinya kepada jalan Allah.